yang nyata, perasaan luar biasa akan bahaya yang mungkin terjadi. Keadaan ini sering ditandai dengan kebingungan atas tindakan yang harus dilakukan selanjutnya.
Tarik nafas dulu ya sebelum kita lanjut ke babak babak penentuan berikut.
Teror datang dari ketidak puasan. Dari ketidakterimaan yang berbeda. Dari ketidakmengertian atas sesuatu yang tidak seharusnya selalu sama. Gamblangnya paham teroris itu adalah tidak bisa melihat perbedaan. Paham yang selalu hitam putih. Bila anda hitam, maka anda bermusuhan dengan putih. Bila anda tidak seagama dengan saya maka anda musuh. Itu mengapa selalu saja yang menjadi sasaran teror adalah yang bersebrangan. Misalnya kamum minoritas, beda politik, agama, suku dan pada kaum beda orientasi sexual.
Apa yang baru terjadi pada Ahmadiyah baru baru ini membukakan mata kita bahwa pencitraan penguasa tidak membebaskan rakyatnya dari teror. Cita cita proklamasi 17 Agustus akan sebuah NKRI, (Negara Kesatuan bukan negara federal) kembali diuji.
Saya jadi ingat semboyan TVRI, menjalin kesatuan dan persatuannnn…
Ah, mungkin TVRI sudah terlibas SCTV Ngetop, RCTI Oke dsn sebagainya…. persis dengan kondisi persatuan dan kesatuan negri ini.
Baru saja kita merasa bahwa NKRI benar benar bersatu saat Timnas tanding lawan Timlay (Tim Malay) kemaren. Hari ini kita sudah dilukai lagi. Tapi jujur saya menghargai pidato presiden yang saya dengar pas saya nulis ini. Belasungkawanya dan tekadnya untuk menindak tegas kelompok kelompok petualang agama atau yang membawa bawa agama yang sebenarnya menurut saya justru membuat orang mengernyitkan jidat… ih, beragama kok malah beringas?
Tapi jujur yah, saya pribadi kok merasa aneh, seorang jendral yang memimpin sebuah negara tidak bisa menjamin keamanan negara? Paling tidak kondisi stabilitas dalam negri belakangan ini. Bom masih meledak, bentrok masih merajalela. Kerusuhan hampir tak berkesudahan. Bahkan ranjau paku bisa disebar di seontoro jalanan.
Lebih jauh saya melihat, mengapa aksi aksi teror belakangan semakin marak. Perampokan perampokan bank di Medan ternyata terkait teroris. Polisi gembar gembor menyiarkan penangkapan sejumlah anggota teroris.
Apakah ini berhubungan dengan TNI kembali ke barak?
Sebelum masa TNI konsentrasi di pertahanan, tak bisa kita pungkiri, TNI berperan penting dalam hal menjaga keamanan di negri ini. Ini bagian dari dwi fungsi ABRI yang sudah berjalan sejak jaman Orde Lama.
Nah… sayangnya wacana memprofesionalkan Polisi dan TNI ini tidak diikuti dengan kesejahteraan di tubuh TNI. TNI kita sekarnag mengenaskan, bahkan latihan terbangpun harus mati. Padahal perang belum. Publik sebagian memandang tak perlu menggemukkan anggaran untuk TNI, karena pertahanan praktis aman aman saja.
Hasilnya adalah perang dingin di tubuh kedua angkatan bersenjata di tanah air ini. Kita tahu banyak bentrokan serang menyerang antara anggota TNI dan Polisi di seontoro republik. SBY yang berasal dari TNI justru dianggap tidak mengakomidasi kepentingan kesejahteraan TNI. Bahkan TNI yang seharusnya bisa mandiri dengan bisnis bisnis TNI sekarang dialihkan menjadi bisnis negara.
Negara kuat mana yang tentaranya melempem?
Ini permasalahan utama. Kita punya Kopasus yang kesohor sebagai salah satu tim pasukan elit paling disegani di dunia. Prestasi demi prestasi dulu sempat diukir kopasus, termasuk prestasi negatif Tim Mawar yang menculiki sejumlah aktivis reformasi. Namun potensi ini sekarang seakan akan tidak dilibatkan sama sekali dengan gerakan memberantas teroris. Polisi kerja sendiri dengan politik pencitraan besar besaran. Sampai penyergapan teroris harus melibatkan kru televisi.
Dulu, sewaktu menggagalkan pembajakan pesawat ke Thailand, saya lupa nama pesawatnya, diam diam, hanya beberapa anggota pasukan diselundupkan ke pesawat. Loreng darah bercucuran ditakuti dimana mana.
Kondisi ini menjadikan negara menjadi stabil. Investasi meningkat. Kemakmuran tak bisa dihindari. Kita tidak bisa memperoleh semuanya dengan menolak hal hal yang menjadi risiko.
Secara teknik TNI memang tidak lagi terlibat dalam hal keamanan. Namun bila diperlukan TNI boleh membantu kepolisian. Masalahnya sepertinya TNI enggan dilibatkan. Kekuatan TNI sekarang seperti hampir sudah tak ada. Walaupun presiden kita bekas prajurit TNI.
Kewibawaan negara turun. Ditambah lagi pencitraan diri yang tidak membantu sama sekali mengingat permasalahan mengentaskan kemiskinan tak pernah benar benar menyentuh rakyat miskin.
Dengan kondisi begini, saya tadi lihat di TV bagaimana pelaku teror terhadap Ahmadiah dengan cueknya mendorong anggota Polisi yang berusaha mencegah. Jelas Kepolisian sudah kelabakan menangani keamanan. Walau bagaimanapun Ahmadiah adalah tetap warga negara yang harus dilindungi. Dilindungi sampai ke haknya yang paling hakiki, keamanan dan jaminan negara untuk beribadah. Karena itu menodai Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selama kepolisian belum bisa seprofesional seperti sewaktu mereka menunjukkan ke rakyat waktu menyergap anggota teroris, selama itu pula warga negara Indonesia tidak akan pernah aman. Tindakan anarkis celakanya dilakukan oleh orang orang yang mengaku membawa bawa agama. Paham teroris yang tidak melihat lagi wilayah abu abu.
Adalah tidak benar bila manusia membenarkan tindakannya atas dalih memperjuangkan pesan Tuhannya.
Saya teringat kisah Untung yang menjadi gembong G30S/PKI. Dalam pengadilan Mahmilub, tak sekalipun Untung mengakui dirinya bersalah. Bahkan tindakannya yang membunuh para Pahlawan Revolusi tetap dianggapnya tidak bersalah. Karena Untung kukuh bahwa tindakannya adalah untuk menjaga kedaulatan RI dengan mengamankan posisi Ir. Soekarno sebagai presiden RI. Untung berkeras bahwa kalau dia tidak mendahului, maka Dewan Jendral lah yang akan mendahului.
Kalau kepercayaan orang sudah fanatik akan kebenaran dirinya sendiri. Membunuh menjadi tidak apa apa. Itu hanya riak riak kecil dalam lautan revousi, begitu kata Bung Karno. Kalau versi Dumbeldore nya… mengorbankan hal hal kecil, untuk kebaikan yang lebih besar.
Pemerintah memerlukan lebih dari ketegasan untuk mengentaskan isu isu rasial belakangan ini. Tunjukan keberpihakan pada yang tertindas, tak peduli itu Ahmadiyah. Jangan terpesona pada suara mayoritas. Suara orang tertindas iu suara universal, seluruh dunia bisa mengutuknya. Ini sudah keluar dari masalah moral bangsa. Ini perlu strategi. Ini membutuhkan tidak hanya ketegasan yang kayanya susah sekali di tangan SBY sekarang. Pedelah pemerintah. Jangan tergantung kelompok ini kelompok itu. Jangan gegabah.
Jangan menghitung anak ayam sebelum telurnya menatas.Manfaatkan seluruh kekuatan bangsa untuk keutuhan negara. Baik Polisi, Kejaksaan, TNI bahkan lembaga lembaga agama untuk menciptakan persatuan. Jauhkan gincu gincu politik itu. Rakyat menginginkan tindakan, bukan angin sorga. Bukan juga janji janji bohong. Apalagi buku pelajaran sekolah.
sumber : http://politik.kompasiana.com/2011/02/07/masalah-ahmadiyah-bukan-sekedar-sentimen-agama/
Beranda
Teror adalah suatu kondisi takutTarik nafas dulu ya sebelum kita lanjut ke babak babak penentuan berikut.
Teror datang dari ketidak puasan. Dari ketidakterimaan yang berbeda. Dari ketidakmengertian atas sesuatu yang tidak seharusnya selalu sama. Gamblangnya paham teroris itu adalah tidak bisa melihat perbedaan. Paham yang selalu hitam putih. Bila anda hitam, maka anda bermusuhan dengan putih. Bila anda tidak seagama dengan saya maka anda musuh. Itu mengapa selalu saja yang menjadi sasaran teror adalah yang bersebrangan. Misalnya kamum minoritas, beda politik, agama, suku dan pada kaum beda orientasi sexual.
Apa yang baru terjadi pada Ahmadiyah baru baru ini membukakan mata kita bahwa pencitraan penguasa tidak membebaskan rakyatnya dari teror. Cita cita proklamasi 17 Agustus akan sebuah NKRI, (Negara Kesatuan bukan negara federal) kembali diuji.
Saya jadi ingat semboyan TVRI, menjalin kesatuan dan persatuannnn…
Ah, mungkin TVRI sudah terlibas SCTV Ngetop, RCTI Oke dsn sebagainya…. persis dengan kondisi persatuan dan kesatuan negri ini.
Baru saja kita merasa bahwa NKRI benar benar bersatu saat Timnas tanding lawan Timlay (Tim Malay) kemaren. Hari ini kita sudah dilukai lagi. Tapi jujur saya menghargai pidato presiden yang saya dengar pas saya nulis ini. Belasungkawanya dan tekadnya untuk menindak tegas kelompok kelompok petualang agama atau yang membawa bawa agama yang sebenarnya menurut saya justru membuat orang mengernyitkan jidat… ih, beragama kok malah beringas?
Tapi jujur yah, saya pribadi kok merasa aneh, seorang jendral yang memimpin sebuah negara tidak bisa menjamin keamanan negara? Paling tidak kondisi stabilitas dalam negri belakangan ini. Bom masih meledak, bentrok masih merajalela. Kerusuhan hampir tak berkesudahan. Bahkan ranjau paku bisa disebar di seontoro jalanan.
Lebih jauh saya melihat, mengapa aksi aksi teror belakangan semakin marak. Perampokan perampokan bank di Medan ternyata terkait teroris. Polisi gembar gembor menyiarkan penangkapan sejumlah anggota teroris.
Apakah ini berhubungan dengan TNI kembali ke barak?
Sebelum masa TNI konsentrasi di pertahanan, tak bisa kita pungkiri, TNI berperan penting dalam hal menjaga keamanan di negri ini. Ini bagian dari dwi fungsi ABRI yang sudah berjalan sejak jaman Orde Lama.
Nah… sayangnya wacana memprofesionalkan Polisi dan TNI ini tidak diikuti dengan kesejahteraan di tubuh TNI. TNI kita sekarnag mengenaskan, bahkan latihan terbangpun harus mati. Padahal perang belum. Publik sebagian memandang tak perlu menggemukkan anggaran untuk TNI, karena pertahanan praktis aman aman saja.
Hasilnya adalah perang dingin di tubuh kedua angkatan bersenjata di tanah air ini. Kita tahu banyak bentrokan serang menyerang antara anggota TNI dan Polisi di seontoro republik. SBY yang berasal dari TNI justru dianggap tidak mengakomidasi kepentingan kesejahteraan TNI. Bahkan TNI yang seharusnya bisa mandiri dengan bisnis bisnis TNI sekarang dialihkan menjadi bisnis negara.
Negara kuat mana yang tentaranya melempem?
Ini permasalahan utama. Kita punya Kopasus yang kesohor sebagai salah satu tim pasukan elit paling disegani di dunia. Prestasi demi prestasi dulu sempat diukir kopasus, termasuk prestasi negatif Tim Mawar yang menculiki sejumlah aktivis reformasi. Namun potensi ini sekarang seakan akan tidak dilibatkan sama sekali dengan gerakan memberantas teroris. Polisi kerja sendiri dengan politik pencitraan besar besaran. Sampai penyergapan teroris harus melibatkan kru televisi.
Dulu, sewaktu menggagalkan pembajakan pesawat ke Thailand, saya lupa nama pesawatnya, diam diam, hanya beberapa anggota pasukan diselundupkan ke pesawat. Loreng darah bercucuran ditakuti dimana mana.
Kondisi ini menjadikan negara menjadi stabil. Investasi meningkat. Kemakmuran tak bisa dihindari. Kita tidak bisa memperoleh semuanya dengan menolak hal hal yang menjadi risiko.
Secara teknik TNI memang tidak lagi terlibat dalam hal keamanan. Namun bila diperlukan TNI boleh membantu kepolisian. Masalahnya sepertinya TNI enggan dilibatkan. Kekuatan TNI sekarang seperti hampir sudah tak ada. Walaupun presiden kita bekas prajurit TNI.
Kewibawaan negara turun. Ditambah lagi pencitraan diri yang tidak membantu sama sekali mengingat permasalahan mengentaskan kemiskinan tak pernah benar benar menyentuh rakyat miskin.
Dengan kondisi begini, saya tadi lihat di TV bagaimana pelaku teror terhadap Ahmadiah dengan cueknya mendorong anggota Polisi yang berusaha mencegah. Jelas Kepolisian sudah kelabakan menangani keamanan. Walau bagaimanapun Ahmadiah adalah tetap warga negara yang harus dilindungi. Dilindungi sampai ke haknya yang paling hakiki, keamanan dan jaminan negara untuk beribadah. Karena itu menodai Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selama kepolisian belum bisa seprofesional seperti sewaktu mereka menunjukkan ke rakyat waktu menyergap anggota teroris, selama itu pula warga negara Indonesia tidak akan pernah aman. Tindakan anarkis celakanya dilakukan oleh orang orang yang mengaku membawa bawa agama. Paham teroris yang tidak melihat lagi wilayah abu abu.
Adalah tidak benar bila manusia membenarkan tindakannya atas dalih memperjuangkan pesan Tuhannya.
Saya teringat kisah Untung yang menjadi gembong G30S/PKI. Dalam pengadilan Mahmilub, tak sekalipun Untung mengakui dirinya bersalah. Bahkan tindakannya yang membunuh para Pahlawan Revolusi tetap dianggapnya tidak bersalah. Karena Untung kukuh bahwa tindakannya adalah untuk menjaga kedaulatan RI dengan mengamankan posisi Ir. Soekarno sebagai presiden RI. Untung berkeras bahwa kalau dia tidak mendahului, maka Dewan Jendral lah yang akan mendahului.
Kalau kepercayaan orang sudah fanatik akan kebenaran dirinya sendiri. Membunuh menjadi tidak apa apa. Itu hanya riak riak kecil dalam lautan revousi, begitu kata Bung Karno. Kalau versi Dumbeldore nya… mengorbankan hal hal kecil, untuk kebaikan yang lebih besar.
Pemerintah memerlukan lebih dari ketegasan untuk mengentaskan isu isu rasial belakangan ini. Tunjukan keberpihakan pada yang tertindas, tak peduli itu Ahmadiyah. Jangan terpesona pada suara mayoritas. Suara orang tertindas iu suara universal, seluruh dunia bisa mengutuknya. Ini sudah keluar dari masalah moral bangsa. Ini perlu strategi. Ini membutuhkan tidak hanya ketegasan yang kayanya susah sekali di tangan SBY sekarang. Pedelah pemerintah. Jangan tergantung kelompok ini kelompok itu. Jangan gegabah.
Jangan menghitung anak ayam sebelum telurnya menatas.Manfaatkan seluruh kekuatan bangsa untuk keutuhan negara. Baik Polisi, Kejaksaan, TNI bahkan lembaga lembaga agama untuk menciptakan persatuan. Jauhkan gincu gincu politik itu. Rakyat menginginkan tindakan, bukan angin sorga. Bukan juga janji janji bohong. Apalagi buku pelajaran sekolah.
sumber : http://politik.kompasiana.com/2011/02/07/masalah-ahmadiyah-bukan-sekedar-sentimen-agama/
Beranda
No comments:
Post a Comment